Sabtu, 16 Juli 2011

Pembantaian Tionghoa Hingga Rusuh Entong Gendut


Oleh Muhammad Subarkah

Seluruh daerah tanah partikelir di Condet disisir. Puluhan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang sedang menunaikan zikir di Masjid Condet ditangkap.

Pada dekade 70-an, dalam sebuah kuliah Subuh di RRI Jakarta, ulama kondang Buya Hamka sempat menyebut mengenai ketabahan warga Betawi di dalam mempertahankan prinsipnya. Ia kemudian menceritakan betapa warga Betawi tetap erat memegang agamanya, yakni Islam, meski sekian ratus tahun hidup di dalam era penjajahan. "Betawi tak pernah menukar agamanya meski mereka harus hidup miskin dan terbuang di dalam kampung-kampung yang sumpek," ujar Buya Hamka saat itu.

Di dalam sejarah, sebagai pusat kekuasaaan Betawi atau Jakarta itu tak putus dirundung aksi kekerasan. Tidak hanya terjadi di era prakedatangan Belanda, di mana banyak Kerajaan Betawi yang dihabisi Padjajaran, setelah era koloninal Belanda, Betawi acapkali dilanda kerusuhan bahkan pembantaian. Hal ini, misalnya, diawali dengan penyerbuan Fatahillah dari Kerajaan Demak yang ketika itu berhasil membebaskan Sunda Kalapa dari cengkeraman Portugis atau penyerbuan Sultan Agung dari Yogyakarta ke Batavia meski kemudian terjadi kegagalan.

Peneliti sejarah Batara R Hutagalung menyatakan, ada satu fenomena kekerasan pembunuhan dalam tingkat begitu masif yang sempat terjadi di Batavia. Hal itu adalah peristiwa pembunuhan warga Tionghoa yang tinggal di wilayah ini. Ini karena Pemerintah Belanda mulai resah dengan jumlah etnis Tionghoa yang sudah mencapai satu per tiga dari warga Batavia. Apalagi, mereka pun sudah menguasai denyut nadi ekonomi kota ini. Belanda pun merasa terancam. Apalagi, banyak area perkebunan yang ada di sekitar Batavia seperti perkebunan tebu yang sudah dikuasai kelompok etnis ini.

Puncak kekesalan Belanda kepada etnis ini terjadi pada 1740. Saat itu, pasar gula mengalami kemerosotan drastis karena muncul pesaing baru di pasar Eropa, yakni gula asal Brasilia. Puluhan pedagang gula bangkrut dan harus memecat kulinya yang berasal dari Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini kemudian memunculkan kelompok atau gang kriminal. Mereka acapkali melakukan tindak kekerasan dengan cara menyatroni kediaman orang-orang Belanda atau Eropa yang saat itu hidup makmur di Batavia.

Akibat suasana kota yang semakin rawan, pada 9 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah rumah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun, bukannya menggeledah, dalam kurun tiga hari kemudian malah muncul pembantaian terhadap semua etnis Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tinghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai. Diperkirakan, sekitar 24 ribu orang etnis Tionghoa tewas dibantai oleh orang Belanda dan Eropa lainnya. Sisanya yang hidup lari ke Jawa Tengah, bergabung dalam pemberontakan Raden Mas Said dan sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat. Jejak kekejaman ini hingga kini terekam, misalnya, dengan nama beberapa kampung yang ada di kawasan Jakarta Kota, seperti Kampung Rawa Bangke dan Pecah Kulit.

Beda dengan etnis Tionghoa yang menjadi ajang pembantaian, etnis Betawi juga punya rekam jejak yang konkret di dalam melawan penjajahan. Aksi itu, di antaranya tercatat dalam sebuah peristiwa yang terjadi pada Rabu malam, 5 April 1916 (Prisme edisi 1, 1977, mengutip kisah dalam buku Protest Movement in Rural Java, Sartono Kartodirdjo). Saat itu, sekelompok 'perusuh' mementaskan tari topeng di depan Villa Nova, yang merupakan kediaman Lady Rollinson, pemilik tanah partikelir di Cililitan Besar. Massa berkerumun menyaksikan tarian yang berlangsung secara tenang sampai jam 11 malam itu.

Namun sesudah itu, kemudian muncul keributan sebagai ekses peristiwa yang timbul beberapa hari sebelumnya ketika para pejabat kolonial menyita rumah Taba, seorang petani kecil yang dijatuhi hukum denda 7.20 gulden oleh Landraad Jatinegara Meester Cornelis. Taba dipidana karena tak mampu bayar sewa tanah. Saat itu warga pun tak puas atas putusan itu. Akibatnya, mobil tuan tanah partikelir yang pada malam itu menjadi ajang pesta, sebelumnya telah dilempar batu oleh warga saat melintas di dekat sebuah jembatan di Tanjung Oost. Penderitaan Taba makin terasa berat karena ketika rumah dilelang harganya hanya mencapai 4.20 gulden.

Peristiwa itu membuat prihatin tokoh Betawi yang bernama Entong Gendut. Dan, bersamaan dengan pesta itu, Entong bersama warga pun menggelar aksi demonstrasi di Villa Nova itu. Ketika dipanggil mantri polisi, Entong dengan tegas membenarkan perlawanan para petani terhadap polisi kolonial yang bertindak semata-mata hanya untuk kepentingan kaum 'srani'. Ia pun mengutuki warga kampung yang telah minum 'air srani' yang nama-namanya telah dimasukkannya dalam daftar catatannya. Sepanjang pembicaraan dengan mantri polisi kolonial itu, Entong Gendut menggenggam sebilah keris sambil terus mengentak-entakkan kakinya. Dia merasa tak terima atas perlakuan polisi kolonial kepada warga Betawi yang hidup miskin itu.

Kerusuhan pun meledak sesaat kemudian. Ketika Entong Gendut kemudian berteriak, "Kuhujamkan kakiku ke bumi, maka bumi pun menjadi lautan," saat itu pula muncul sepasukan rakyat bersenjata dari semak-semak. Mereka pun menyerang mantri polisi yang kemudian lari kocar-kacir karena ketakutan melihat amukan masa pimpinan Entong Gendut itu. Setelah berhasil menyelamatkan diri, mantri polisi kolonial kemudian melaporkan peristwia itu kepada Wedana Jatinegara.

Lima hari kemudian, Wedana Jatinegara dengan dikawal sepasukan polisi mengepung rumah Entong Gendut. Wedana memintanya keluar. Dan, Entong Gendut kemudian muncul setelah menunaikan sembahyang, sembari membawa sebilah tombak yang dibungkus kain putih dan bendera merah bulan sabit putih. Tak cukup dengan itu, Entong Gedung saat itu juga berteriak lantang memproklamasikan diri sebagai raja yang tindak tunduk kepada siapa pun. Melihat sikap Entong Gendut, Wedana Jatinegara pun panik ketakutan. Diapun segera berunding dengan komandan polisi tentang apa yang sebaiknya dilakukan.

Namun, ketika Wedana sedang sibuk berunding, Entong Gendut berjalan ke halaman sembari berteriak, "Anak-anak!" Panik oleh munculnya pasukan dari semak-semak, polisi langsung melarikan diri. Wedana yang malang itu sempat berusaha mencari persembunyian di sebuah rumah yang kosong. Namun, ia kemudian berhasil ditangkap dan segera diserahkan ke hadapan Entong Gendut untuk diadili. Kepada si wedana itu, Entong Gendung mengatakan bahwa dia adalah Imam Mahdi yang memelihara tanah Jawa. Ia pun menyatakan tak terima atas nasib buruk yang menimpa warga desa yang rumahnya dibakar karena tidak mampu bayar utang.

Kabar penangkapan Wedana itu amat mengejutkan para pejabat Belanda. Asisten residen sendiri kemudian memimpin pasukan penyelamatan yang kedatangannya kemudian disambut para pengikut Entong Gendut dengan teriakan, "Sabilullah, tidak takut!" Asisten residen sempat melakukan dialog dengan meminta agar massa bersikap tenang. Namun, ini tak dipedulikan. Masa pimpinan Entong Gendut menjawab, "Sabilullah, tidak takut!" Akhirnya, tembakan dilepaskan Entong Gendut. Dia luka parah dan kemudian meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit tentara di Batavia.

Setelah amuk massa diredam, seluruh daerah tanah partikelir di Condet disisir. Puluhan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang sedang menunaikan zikir di Masjid Condet ditangkap. Banyak di antara mereka yang ditahan dan diinterogasi. Tetapi, masih banyak lagi penduduk yang tidak tertangkap. Dan, dari peristiwa itulah nama Entong Gendut melegenda hingga sekarang.

Dari dua contoh peristiwa sejarah itulah, kini bisa teraba betapa Betawi punya catatan masa lalu yang beragam. Di balik keindahannya yang pada masa kolonial disebut Venicia dari Timur, Betawi atau Jakarta juga menyimpan banyak hal kelam. Di balik pendar cahaya cemerlang yang muncul di hari-hari ini, ternyata banyak jejak luka yang telah dilaluinya. Dan, salah satunya itu adalah menjadi bukti mengenai ketabahan penghuninya untuk terus bertahan hidup di tanahnya sendiri.

Sumber : republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...