Sabtu, 16 Juli 2011

Tolak Kastaisasi Pendidikan





Oleh Siti Muyassarotul Hafidzoh
Mahasiswa Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta


Setiap tahun ajaran baru terjadi ragam keganjilan yang melingkupi dunia pendidikan kita. Selain keganjilan banyaknya pungutan liar sekolah, terjadi juga wajah paradoks sekolah yang berbeda kasta satu dengan lainnya. Mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai perguruan tinggi (PT), muncul kasta dengan sebutan favorit atau unggulan. Orang tua yang mempunyai kecukupan finansial (the have) akan mengejar sekolah dengan tarif tinggi sebagai bukti sekolah favorit. Sementara kaum miskin (the have not) harus puas dengan sekolah seadanya, sesuai dengan kecukupan dana yang dimiliki orang tuanya.

Dalam dinas pendidikan sendiri, kasta ini sudah diciptakan. Sebutan "kluster" untuk sekolah negeri dan "akreditasi" untuk sekolah swasta. Kasta ini semakin tajam kala berdiri sekolah bertaraf internasional (SBI) di berbagai kota di Indonesia. Sistem kasta ini membuat orang tua berlomba mendapatkan sekolah dengan kasta tinggi, seperti SBI, Kluster I, dan Akreditasi A. Orang tua yang berada tak lagi peduli dengan biaya sumbangan dana pendidikan yang menjulang tinggi. Semakin tinggi sumbangannya, seolah anaknya akan mendapatkan sekolah favorit yang berkelas yang kelak bisa menjadi modal untuk mencari kerja.

Jelas sekali, sistem kasta ini mencederai UUD 1945. Amanat UUD 1945 memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama dan setara. Ketika pendidikan dibatas-batasi oleh pola kasta yang berujung kepada sistem komersial, pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Terbukti, mereka yang pandai dan cerdas namun berasal dari keluarga miskin tak akan bisa masuk SBI, Kluster I, dan Akreditasi A. Semua itu hanya untuk kaum kaya. Kalaupun kaum miskin bisa masuk dengan beasiswa sekalipun, secara psikologis akan sangat tertekan karena masyoritas yang ada lahir dari kaum kaya.

Lahirnya kastaisasi pendidikan berawal dari proyek SBI. Sayang sekali, SBI bukan lagi bertaraf internasional, melainkan bertarif internasional. Kalau dilihat dari legal standing atau pijakan hukum, berdirinya SBI tersebut adalah UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, khususnya pasal 50 ayat 3, yaitu pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Regulasi inilah yang kemudian melahirkan peraturan di bawahnya, yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendiknas ini mengatur dan menjelaskan secara terperinci mengenai SBI. Kemudian bagaimana persepsi publik sekarang dibawa ke dalam term baru ini agar tetap bisa memahami secara holistik, tentu masyarakat mesti mengetahui definisi dari SBI tersebut.
Pasal 1 ayat 8 Permendiknas No 78 Tahun 2009 menyebutkan bahwa sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD atau negara maju lainnya.

Menurut Satriwan (2010), masyarakat Indonesia sebenarnya mengharapkan sekolah berkualitas namun terjangkau (sampai ke pelosok daerah). Namun, wacana sekolah murah bahkan gratis hanya sebatas pemanis bibir pemerintah. SBI ini kemudian diplesetkan menjadi "sekolah bertarif internasional". Sebab kabarnya, yang namanya SBI itu pasti mahal, jika mahal yang mendapatkan akses untuk bersekolah di sana hanya orang kaya, sedangkan orang miskin dilarang bersekolah di SBI.

"Pendidikan untuk semua" yang menjadi moto bahkan jargon ketika kampanye politik tidak akan terwujudkan jika SBI menjadi produk kegagalan pemerintah dalam merealisasikan pendidikan murah dan berkualitas. Karena secara sosio-pedagogis, pelaksanaan atau penyelenggaraan SBI harus sesuai dengan spirit filosofi pendidikan itu. Jika filosofinya adalah internasionalisasi, jelas sudah parameternya adalah kualitas pendidikan, bukan sekadar formalistik-ekonomis an sich.

Label internasional, lanjut Satriwan, bukan parameter determinatif terhadap kualitas pendidikan nasional. Jika dengan label internasional otomatis pendidikan terdistribusikan secara adil dan proporsional sampai ke daerah-daerah terpencil, tentu semua orang sepakat dengan itu. Tetapi, jika penambahan label internasional hanya akan menjadi sebuah 'kesadaran mengglobal' tanpa memahami wajah pendidikan nasional, sama saja dengan kembali mendorong pendidikan Tanah Air ke lubang yang semakin dalam dan gelap.

Perilaku diskriminatif dalam kastaisasi pendidikan berdampak sistemik dalam proses bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebuah pengingkaran sejarah dan pengingkaran kodrati sebagai manusia Indonesia yang berumah Pancasila, yang beralamat UUD 1945, serta yang berprinsip bersama-sama menjadi satu, sama untuk bersendiri-sendiri. Kalau masih terjadi diskriminasi dan kastaisasi dengan model tarif internasional, kita sudah mencederai Pancasila sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kita telah menggantikannya menjadi "Keuangan Yang Maha Esa".

Pendidikan Indonesia ingin mencetak manusia yang beriman dan bertakwa sehingga bisa berguna untuk kemajuan bangsa. Jangan lagi ada pengotak-ngotakan sehingga semakin membuat jurang dikotomi dan kesenjangan sosial makin tajam. Dikotomi "kaya-pintar-sukses" dan "miskin-bodoh-gagal" harus diakhiri. Semua adalah sama dan sejajar untuk menikmati layanan pendidikan.

Pemerintah sebaiknya becermin lagi kepada nenek moyang kita yang sukses menjadi bangsa besar, berpikir besar, berjiwa besar, berhati besar, dan berkarya besar. Candi Prambanan, Borobodur, candi-candi yang berjajar dari Sabang sampai Merauke; keraton-keraton yang masih tegar tegak; serta bangunan-bangunan tempat ibadah yang masih kokoh kuat mekipun telah dibangun ratusan tahun silam, merupakan wujud nyata bangsa besar. Mengapa ngotot melakukan internasionalisasi yang mempertajam kesenjangan sosial kalau ternyata bangsa kita sendiri sudah besar?
 
Sumber : republika.co.id

Pembantaian Tionghoa Hingga Rusuh Entong Gendut


Oleh Muhammad Subarkah

Seluruh daerah tanah partikelir di Condet disisir. Puluhan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang sedang menunaikan zikir di Masjid Condet ditangkap.

Pada dekade 70-an, dalam sebuah kuliah Subuh di RRI Jakarta, ulama kondang Buya Hamka sempat menyebut mengenai ketabahan warga Betawi di dalam mempertahankan prinsipnya. Ia kemudian menceritakan betapa warga Betawi tetap erat memegang agamanya, yakni Islam, meski sekian ratus tahun hidup di dalam era penjajahan. "Betawi tak pernah menukar agamanya meski mereka harus hidup miskin dan terbuang di dalam kampung-kampung yang sumpek," ujar Buya Hamka saat itu.

Di dalam sejarah, sebagai pusat kekuasaaan Betawi atau Jakarta itu tak putus dirundung aksi kekerasan. Tidak hanya terjadi di era prakedatangan Belanda, di mana banyak Kerajaan Betawi yang dihabisi Padjajaran, setelah era koloninal Belanda, Betawi acapkali dilanda kerusuhan bahkan pembantaian. Hal ini, misalnya, diawali dengan penyerbuan Fatahillah dari Kerajaan Demak yang ketika itu berhasil membebaskan Sunda Kalapa dari cengkeraman Portugis atau penyerbuan Sultan Agung dari Yogyakarta ke Batavia meski kemudian terjadi kegagalan.

Peneliti sejarah Batara R Hutagalung menyatakan, ada satu fenomena kekerasan pembunuhan dalam tingkat begitu masif yang sempat terjadi di Batavia. Hal itu adalah peristiwa pembunuhan warga Tionghoa yang tinggal di wilayah ini. Ini karena Pemerintah Belanda mulai resah dengan jumlah etnis Tionghoa yang sudah mencapai satu per tiga dari warga Batavia. Apalagi, mereka pun sudah menguasai denyut nadi ekonomi kota ini. Belanda pun merasa terancam. Apalagi, banyak area perkebunan yang ada di sekitar Batavia seperti perkebunan tebu yang sudah dikuasai kelompok etnis ini.

Puncak kekesalan Belanda kepada etnis ini terjadi pada 1740. Saat itu, pasar gula mengalami kemerosotan drastis karena muncul pesaing baru di pasar Eropa, yakni gula asal Brasilia. Puluhan pedagang gula bangkrut dan harus memecat kulinya yang berasal dari Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini kemudian memunculkan kelompok atau gang kriminal. Mereka acapkali melakukan tindak kekerasan dengan cara menyatroni kediaman orang-orang Belanda atau Eropa yang saat itu hidup makmur di Batavia.

Akibat suasana kota yang semakin rawan, pada 9 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah rumah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun, bukannya menggeledah, dalam kurun tiga hari kemudian malah muncul pembantaian terhadap semua etnis Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tinghoa yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai. Diperkirakan, sekitar 24 ribu orang etnis Tionghoa tewas dibantai oleh orang Belanda dan Eropa lainnya. Sisanya yang hidup lari ke Jawa Tengah, bergabung dalam pemberontakan Raden Mas Said dan sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat. Jejak kekejaman ini hingga kini terekam, misalnya, dengan nama beberapa kampung yang ada di kawasan Jakarta Kota, seperti Kampung Rawa Bangke dan Pecah Kulit.

Beda dengan etnis Tionghoa yang menjadi ajang pembantaian, etnis Betawi juga punya rekam jejak yang konkret di dalam melawan penjajahan. Aksi itu, di antaranya tercatat dalam sebuah peristiwa yang terjadi pada Rabu malam, 5 April 1916 (Prisme edisi 1, 1977, mengutip kisah dalam buku Protest Movement in Rural Java, Sartono Kartodirdjo). Saat itu, sekelompok 'perusuh' mementaskan tari topeng di depan Villa Nova, yang merupakan kediaman Lady Rollinson, pemilik tanah partikelir di Cililitan Besar. Massa berkerumun menyaksikan tarian yang berlangsung secara tenang sampai jam 11 malam itu.

Namun sesudah itu, kemudian muncul keributan sebagai ekses peristiwa yang timbul beberapa hari sebelumnya ketika para pejabat kolonial menyita rumah Taba, seorang petani kecil yang dijatuhi hukum denda 7.20 gulden oleh Landraad Jatinegara Meester Cornelis. Taba dipidana karena tak mampu bayar sewa tanah. Saat itu warga pun tak puas atas putusan itu. Akibatnya, mobil tuan tanah partikelir yang pada malam itu menjadi ajang pesta, sebelumnya telah dilempar batu oleh warga saat melintas di dekat sebuah jembatan di Tanjung Oost. Penderitaan Taba makin terasa berat karena ketika rumah dilelang harganya hanya mencapai 4.20 gulden.

Peristiwa itu membuat prihatin tokoh Betawi yang bernama Entong Gendut. Dan, bersamaan dengan pesta itu, Entong bersama warga pun menggelar aksi demonstrasi di Villa Nova itu. Ketika dipanggil mantri polisi, Entong dengan tegas membenarkan perlawanan para petani terhadap polisi kolonial yang bertindak semata-mata hanya untuk kepentingan kaum 'srani'. Ia pun mengutuki warga kampung yang telah minum 'air srani' yang nama-namanya telah dimasukkannya dalam daftar catatannya. Sepanjang pembicaraan dengan mantri polisi kolonial itu, Entong Gendut menggenggam sebilah keris sambil terus mengentak-entakkan kakinya. Dia merasa tak terima atas perlakuan polisi kolonial kepada warga Betawi yang hidup miskin itu.

Kerusuhan pun meledak sesaat kemudian. Ketika Entong Gendut kemudian berteriak, "Kuhujamkan kakiku ke bumi, maka bumi pun menjadi lautan," saat itu pula muncul sepasukan rakyat bersenjata dari semak-semak. Mereka pun menyerang mantri polisi yang kemudian lari kocar-kacir karena ketakutan melihat amukan masa pimpinan Entong Gendut itu. Setelah berhasil menyelamatkan diri, mantri polisi kolonial kemudian melaporkan peristwia itu kepada Wedana Jatinegara.

Lima hari kemudian, Wedana Jatinegara dengan dikawal sepasukan polisi mengepung rumah Entong Gendut. Wedana memintanya keluar. Dan, Entong Gendut kemudian muncul setelah menunaikan sembahyang, sembari membawa sebilah tombak yang dibungkus kain putih dan bendera merah bulan sabit putih. Tak cukup dengan itu, Entong Gedung saat itu juga berteriak lantang memproklamasikan diri sebagai raja yang tindak tunduk kepada siapa pun. Melihat sikap Entong Gendut, Wedana Jatinegara pun panik ketakutan. Diapun segera berunding dengan komandan polisi tentang apa yang sebaiknya dilakukan.

Namun, ketika Wedana sedang sibuk berunding, Entong Gendut berjalan ke halaman sembari berteriak, "Anak-anak!" Panik oleh munculnya pasukan dari semak-semak, polisi langsung melarikan diri. Wedana yang malang itu sempat berusaha mencari persembunyian di sebuah rumah yang kosong. Namun, ia kemudian berhasil ditangkap dan segera diserahkan ke hadapan Entong Gendut untuk diadili. Kepada si wedana itu, Entong Gendung mengatakan bahwa dia adalah Imam Mahdi yang memelihara tanah Jawa. Ia pun menyatakan tak terima atas nasib buruk yang menimpa warga desa yang rumahnya dibakar karena tidak mampu bayar utang.

Kabar penangkapan Wedana itu amat mengejutkan para pejabat Belanda. Asisten residen sendiri kemudian memimpin pasukan penyelamatan yang kedatangannya kemudian disambut para pengikut Entong Gendut dengan teriakan, "Sabilullah, tidak takut!" Asisten residen sempat melakukan dialog dengan meminta agar massa bersikap tenang. Namun, ini tak dipedulikan. Masa pimpinan Entong Gendut menjawab, "Sabilullah, tidak takut!" Akhirnya, tembakan dilepaskan Entong Gendut. Dia luka parah dan kemudian meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit tentara di Batavia.

Setelah amuk massa diredam, seluruh daerah tanah partikelir di Condet disisir. Puluhan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang sedang menunaikan zikir di Masjid Condet ditangkap. Banyak di antara mereka yang ditahan dan diinterogasi. Tetapi, masih banyak lagi penduduk yang tidak tertangkap. Dan, dari peristiwa itulah nama Entong Gendut melegenda hingga sekarang.

Dari dua contoh peristiwa sejarah itulah, kini bisa teraba betapa Betawi punya catatan masa lalu yang beragam. Di balik keindahannya yang pada masa kolonial disebut Venicia dari Timur, Betawi atau Jakarta juga menyimpan banyak hal kelam. Di balik pendar cahaya cemerlang yang muncul di hari-hari ini, ternyata banyak jejak luka yang telah dilaluinya. Dan, salah satunya itu adalah menjadi bukti mengenai ketabahan penghuninya untuk terus bertahan hidup di tanahnya sendiri.

Sumber : republika.co.id

Jumat, 15 Juli 2011

Pancasila Tak Lagi Jadi Dasar

SELAMA reformasi, UUD 1945 sudah empat kali diamandemen. Amandemen telah membuat arah kehidupan bangsa menjadi tidak jelas karena perubahannya dilakukan sesuai dengan kepentingan elite politik. Ironisnya Pancasila tidak lagi pernah disebut, apalagi diamalkan atau dijadikan rujukan dalam perumusan berbagai kebijakan. Semua kebijakan dirumuskan oleh akademisi yang mengambil sumber dari budaya luar, bahkan banyak keputusan politik yang tidak dirumuskan berdasarkan kebutuhan sendiri, tetapi berdasarkan aspirasi para konsultan yang kebetulan juga asing yang tentu tidak mengerti budaya dan aspirasi masyarakat di sini.

Dengan cara pandang seperti itu maka Pancasila tidak lagi menjadi dasar berpolitik dan bernegara dalam pelaksanaan demokrasi kita. Melihat penyimpangan itu maka tanpa harus mengurangi kualitas demokrasi, berbagai pihak telah mulai bersuara dengan mengusulkan agar pemilihan kepala daerah langsung  dihapuskan. Karena hal tersebut ditengarai hanya mengakibatkan politik berbiaya tinggi, tetapi juga memancing terjadinya disintegrasi sosial. Lebih penting lagi langkah itu jelas melanggar dasar negara sebagaimana termaktub dalam Pancasila.

Sistem demokrasi kita bukan demokrasi langsung melainkan demokrasi perwakilan, sebagaimana dikatakan dalam sila ke 4 yang mengatakan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Artinya dalam konteks demokrasi Pancasila ini pimpinan eksekutif mulai dari presiden hingga bupati dipilih oleh para wakil rakyat, yang sudah dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Apakah dengan sistem tersebut akan menciptakan kesejahteraan sosial di tengah sistem politik kenegaraan yang kita rasakan cenderung bersifat liberal? Karena sistem tersebut secara jelas lebih mengutamakan persaingan ketimbang kerjasama dan gotong royong. Rasa persaudaraan dan kekeluargaan seolah-olah disirnakan dari sistem ini, sehingga mustahil akan mampu membawa kesejahteraan sosial secara merata. Apabila kondisi ini tetap dipertahankan secara terus menerus maka jangan kaget negeri ini terus diguncang berbagai macam persoalan yang berkepanjangan. Hampir tiap hari kita disuguhi oleh media berita-berita masalah kasus hukum yang tidak tegas, koruptor yang tak kunjung habis. Dengan kondisi seperti ini rakyat semakin dibuat frustasi dengan kondisi politik yang tidak kondusif.  

Oleh karenanya kita berharap agar kondisi bangsa kedepan dapat segera pulih. Penulis menawarkan jalan yang terbaik untuk keluar dari persoalan bangsa saat ini yakni dengan mengembalikan sistem politik ketatanegaraan yang dianggap menyimpang, diluruskan dan dikembalikan pada khittahnya. Karena diyakini  oleh berbagai kalangan hanya dengan menjalankan Pancasila dan UUD 1945  secara jujur, adil dan  benar  akan  mampu menciptakan kesejahteraan sosial dan menjaga keluhuran  budi bangsa.

Sumber : Suara Publik @Sri Wahyuni/-rmol-

Kamis, 14 Juli 2011

Berbagai LSM Tuntut Pemerintah Revisi Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat hak asasi manusia itu diantaranya Kontras, Imparsial, dan YLBHI.
Menurut Dewan Pembina Kontras, Usman Hamid di Jakarta, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang didalamnya terdapat pasal pencemaran nama baik tidak bisa ditoleransi lagi, karena membolehkan individu menggugat individu lain secara pidana sehingga mengancam kebebasan berekspresi.
Usman Hamid mengatakan, " Warga dipidana karena dianggap mencemarkan rumah sakit atau dianggap mencemarkan nama baik orang lain itu mengalami ketakutan karena tidak biasa berurusan dengan hukum."
Pengaduan dan keluhan konsumen yang disalurkan lewat media internet juga bisa dijerat dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini seperti yang terjadi terhadap Prita Mulyasari.
Prita Mulyasari, yang dua tahun lalu digugat oleh rumah sakit Omni International Tangerang karena pencemaran nama baiknya, kini terancam masuk penjara lagi setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi dari Kejaksaan Agung.
Dalam pengajuan kasasinya, Kejaksaan Agung meminta agar MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang membebas Prita dari tuntutan pidana dan perdata.
MA membebaskan Prita dari tuntutan perdata, sehingga dia tidak harus membayar ganti rugi Rp20 miliar kepada Omni.
Tetapi, MA mengabulkan kasasi pidana Kejaksaan Agung sehingga Prita tidak bebas dari hukuman pidana dalam kasus pencemaran nama baik itu.
Praktisi Hukum, Todung Mulya Lubis menyayangkan keputusan Mahkamah Agung tersebut. Dia menilai pasal pencemaran nama baik dalam hukum di Indonesiaseharusnya segera dihapus.
Ia mengatakan, "Prita menggunakan haknya untuk mengkritik manajemen rumah sakit yang merugikan kepentingan pasien. Bahwa dia menggunakan media online untuk itu itu sah-sah saja karena media itu terbuka untuk publik. Mahkamah Agung tidak peka terhadap perubahan-perubahan kesadaran publik yang begitu tinggi termasuk penggunaan teknologi informasi yang betul-betul canggih sekarang ini".
Sementara itu, Anggota Komisi I yang salah satunya membidangi soal informasi, Roy Suryo memastikan DPR setuju akan adanya revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik itu. "Mari kita rubah UU ITE terutama dipasal 27," ujar Roy Suryo.
Sebelumnya, Deputi Direktur Human Rights Watch Divisi Asia, Elaine Pearson mengatakan pasal pencemaran nama baik hadir untuk melindungi individu dari penghancuran reputasi. Namun, di Indonesia hukum ini diterapkan secara pidana dan bukan perdata dengan sanksi berat hingga hukuman kurungan badan. Aturan ini menurut Human Rights Watch racun bagi demokrasi di Indonesia.

Sumber: voanews.com

Blogger & Picasa Digusur Google?

Seperti dilansir Mashable, dua produk Google yang populer, yakni Blogger dan Picasa, sepertinya akan digusur Google. Bukan dihapuskan total melainkan ganti nama.
Menurut dua sumber terpercaya, Google akan mengubah nama Picasa menjadi “Google Photos” dan Blogger akan jadi “Google Blogs.” Nama brand-nya total jadi milik Google.
Ini dilakukan Google sebagai suatu cara mendongkrak kepopuleran Google+ yang baru launching kemarin. Kedua layanan itu akan disinkronisasi dengan Google+.
Penggantian nama kedua produk ini akan jadi perubahan besar, mengingat nama besar Blogger dan Picasa yang sudah terlanjur dicintai banyak penggunanya sejak lama.
Picasa dan Blogger adalah dua produk akuisisi Google. Picasa diakusisi Google pada 2004, dan Blogger diakuisisi pada 2003. Blogger telah menjadi satu dari 10 situs paling banyak dikunjungi di dunia. Mengubah namanya jadi Google Blogs akan memengaruhi pengguna setianya.
Pengggantian nama seperti ini bukan hal baru. Sebelumnya, Google mengakuisisi JotSpot pada 2006 dan mengubah namanya jadi Google Sites pada 2008.
Pada 2007, Google juga mengakuisisi platform VOIP GrandCentral dan mengganti namanya jadi Google Voice pada 2009.
Penggantian nama Picasa dan Blogger jadi Google Photos dan Google Blogs akan dilakukan dalam jangka waktu satu atau satu setengah bulan ke depan. Namun sejauh ini Google belum berkomentar apa-apa.

Sumber: Inilah.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...